Langsung ke konten utama

Mekanisme Duniawi | Sharing #6

Orang-orang sudah terlalu sibuk dengan urusan dunianya, sehingga menjadikan dirinya sebagai Robotics Individualism. Terkadang aku merasa aneh dengan orang-orang seperti ini, mereka diambang oleh gaji disetiap bulannya, seolah hidupnya didedikasikan hanya untuk bekerja. Mereka tak sadar bahwa manusia memerlukan uang untuk hidup, bukan hidup untuk uang. Apakah uang sudah melenyapkan naluriah alam pikiran manusia?

Sama halnya denganku saat ini. Aku memasuki zona dimana manusia sebagai robotik perusahaan. Melewati hari-hari membosankan, karena tak lain untuk uang semata. Waktuku tak karuan, badanku terkulai lemas. Kemudian aku berpikir, orangtua-orangtua disana yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sangatlah inspiratif. Semuanya mereka lakukan hanya untuk sebuah keluarga, tak lain adalah anak-anaknya. Mungkin dulu ketika aku masih duduk dibangku sekolah masih tidak menghargai uang, apa-apa tinggal meminta, tanpa memikirkan, yang penting dapet aja gitu, egois sekali aku! Aku terbiasa dengan berusaha untuk mendapatkan uang oleh orangtuaku, dan memang bisa dibilang pelit. Ya gitulah ya karena terlalu apik jadi pelit. Karena itu pula pemikiran untuk mendapatkan uang harus dengan alasan yang pasti, unikolah jalan keluarnya, uniko bisa diartikan berbohong, orang sunda bilang Usaha Nipu Kolot. Sebenarnya tidak baik, tetapi kalau tidak begitu susah untuk mendapatkan uang tambahan.

Kembali pada topik tentang dunia pekerjaan. Aku bekerja disalah satu minimarket di Bandung, yang jaraknya tidak jauh dari tempatku saat ini. Sudah kalian ketahui bahwa ekspektasi orang umum terhadap pegawai minimarket sangat santai, tapi realitasnya tidak. Semuanya terbalik tak seperti ekspektasi. Mungkin semua pekerjaan, mau dalam bidang apapun sangat tidak menyenangkan, Karena apa? Yang enak itu pasti hobi yang dibayar. Manusia itu lucu, perspektif mereka terhadap uang adalah segalanya, sehingga rela meninggalkan keluarga, waktu, bahkan kewajiban ibadahnya. Apa mungkin karena ambisi mereka merelakan semua itu? Entahlah. Semua gelap karena uang, dan menyalahartikan definisi uang. Aku setuju bahwa uang adalah segalanya, tetapi aku tidak setuju apabila uang sudah melenyapkan jati diri seorang manusia. Karena manusia membutuhkan uang untuk hidup, bukan hidup untuk uang.

Ambisi untuk mendapatkan uang menjadikan seorang individu lupa akan bersyukur. Kenapa aku bisa ngomong kaya gini? Semua karena pengalamanku sebagai karyawan dari salah satu perusahaan. Karena semua pekerja tidak menikmati pekerjaannya, yang dinikmatinya adalah waktu libur, dan waktu gajihan tiba. Kebanyakan pekerja tidak menikmati pekerjaannya karena tekanan dari atasannya, ini menjadikan sorang pegawai perusahaan itu sendiri murka terhadap perusahaan yang sedang dia kerjakan. Teman kerjaku sering mencaci perusahaan, karena tak lain tekanan dari atasan, dia tidak sadar bahwa dia bisa makan karena perusahaan ini pula, digaji oleh perusahaan ini. Inilah yang menjadikan seorang lupa akan bersyukur.

Hidup di era milenial ini dituntut untuk mendapatkan uang lebih banyak, karena inilah orang bisa merasakan kesejahteraan hidup. Banyak pula karena ambisinya untuk mendapatkan uang menghalalkan berbagai cara, bahkan rela meminta-minta hanya sekadar untuk uang. Semoga umat manusia tidak larut oleh manipulasi benda yang bernama uang ini, karena hidup tidak melulu tentang uang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Simbolik Merubah Daya Nalar / Manipulator Estetika

     "Enam tahun berlalu, dan rasanya seperti dua kehidupan yang berbeda." Nggak nyangka juga, akhirnya nulis lagi di blog ini—yang entah bagaimana masih bertahan meski pemiliknya sibuk survive dan belajar jadi manusia. Dalam enam tahun terakhir, karier naik turun kayak roller coaster, dan perjalanan batin? hhmm... sangat mengesankan. Tapi justru dari situ semua, banyak hal tumbuh… pelan-pelan, dalam diam, tapi nyata. Jadi, tulisan ini semacam sapaan hangat dari versi diriku yang sekarang—lebih lelah, tapi juga lebih paham arah.       Ada getaran batin ketika meng-klik thumbnail salah satu video yang baru saja ku tonton. Itulah yang aku rasakan saat menonton yang entah kenapa, hadir di waktu yang begitu tepat. Bukan tayangan viral atau konten sensasi. Tapi sebuah suguhan yang penuh makna, menggali akar sejarah, spiritualitas, dan jati diri bangsa. Ini sebuah pengingat sunyi namun kuat, bahwa kita—sebagai anak-anak Nusantara—telah terlalu lama berpa...

Diskusi Alam | Sharing #17

Adakah satu saja langkah dalam perjalanan panjang dan berbelok ini, antara aksi dan reaksi perihal kepastian? Yang mana tidak melakukan aksi, hanya menunggu reaksi tanpa kita proses mekanismenya? Kurasa tidak ada, bahkan proses keajaiban pun memerlukan prosesi yang sangat panjang, tak lain proses sebab akibat yang ditimbulkan si penerima keajaiban. Ditempatku duduk sekarang ini, tepat di tepian pantai pukul 20.30 waktu setempat, ada keajaiban jiwa yang sangat kontras ketimbang saat menyeruput kopi di penginapan tadi. Ombakpun seolah membuka diskusi dengan suara gemuruhnya. Sang ombak membuka pernyataan melalui aksi reaksi ditepian pantainya yang saling mencumbui hingga bibir pantai, sang angin menambahkan melalui kelembutan terpaan yang ditimbulkannya, bahkan tuan langit tidak ingin ketinggalan dengan diskusi menarik ini, sang langitlah yang paling mendominasi diantara yang lainnya. Gulita adalah pernyataannya, yang mempengaruhi aksi reaksi yang ditimbulkan alam, pernyataan paling komp...

Jaringan Makna | Sharing #18

    Bagian favorit dalam buku Homo Deus Masa Depan Umat Manusia  "Jaringan Makna"  halaman 165. Dan, ...      Orang kesulitan memahami ide tentang "tatanan yang diimajinasikan" karena mereka berasumsi bahwa hanya ada dua jenis realitas: realitas objektif dan realitas subjektif. Dalam realitas objektif sesuatu ada secara independen dari keyakinan dan perasaan kita. Gravitasi, misalnya, adalah sebuah realitas objektif. Ia ada jauh sebelum Newton, dan ia berdampak pada orang-orang yang mempercayainya.      Sebaliknya, realitas subjektif bergantung pada keyakinan dan perasaan personal saya. Misalnya, saya merasakan nyeri yang hebat di kepala dan pergi ke dokter. Dokter memeriksa saya dengan teliti, tetapi tak menemukan masalah apa pun. Maka, dia mengirim saya untuk tes darah, air seni, DNA, X-ray, electrocardiogram, scan fMRI dan banyak lagi prosedur lainnya. Ketika hasilnya datang, dia memberitahu bahwa saya sehat sempurna, dan saya bisa...