Bagian favorit dalam buku Homo Deus Masa Depan Umat Manusia "Jaringan Makna" halaman 165. Dan, ...
Orang kesulitan memahami ide tentang "tatanan yang diimajinasikan" karena mereka berasumsi bahwa hanya ada dua jenis realitas: realitas objektif dan realitas subjektif. Dalam realitas objektif sesuatu ada secara independen dari keyakinan dan perasaan kita. Gravitasi, misalnya, adalah sebuah realitas objektif. Ia ada jauh sebelum Newton, dan ia berdampak pada orang-orang yang mempercayainya.
Sebaliknya, realitas subjektif bergantung pada keyakinan dan perasaan personal saya. Misalnya, saya merasakan nyeri yang hebat di kepala dan pergi ke dokter. Dokter memeriksa saya dengan teliti, tetapi tak menemukan masalah apa pun. Maka, dia mengirim saya untuk tes darah, air seni, DNA, X-ray, electrocardiogram, scan fMRI dan banyak lagi prosedur lainnya. Ketika hasilnya datang, dia memberitahu bahwa saya sehat sempurna, dan saya bisa pulang. Namun, saya masih merasa nyeri hebat dikepala. Sekalipun setiap tes objektif tak menemukan masalah apa pun pada saya, dan meski tak seorang pun kecuali saya yang merasa nyeri, bagi saya nyeri itu 100 persen riil.
Sebagian orang menyangka bahwa sebuah realitas itu mesti objektif atau subjektif, dan tidak ada opsi ketiga. Karena itu, ketika mereka yakin dengan pemahamannya bahwa ada sesuatu yang bukan hanya perasaan subjektifnya sendiri, dia langsung menyimpulkan itu pasti objektif. Jika banyak orang percaya kepada Tuhan; jika uang membuat dunia menyatu; dan jika nasionalisme memulai perang dan membangun imperium, maka hal-hal ini tidak hanya keyakinan subjektif. Karena itu, Tuhan, uang, dan negara pasti realitas objektif.
Tetapi, ada level realitas ketiga: level intersubjektif. Entitas intersubjektif bergantung pada komunikasi, di antara banyak manusia, bukan pada keyakinan dan perasaan individual manusia. Banyak dari pelaku-pelaku sejarah yang paling penting adalah intersubjektif. Uang, misalnya, tak punya nilai objektif. Anda tak bisa memakan, meminum, atau mengenakan satu lembar uang kertas. Namun, selama miliaran orang percaya pada nilainya, Anda bisa menggunakannya untuk membeli makanan, minuman, atau pakaian. Jika tukang roti tiba-tiba kehilangan kepercayaannya pada uang dolar, dan dia tak mau memberi saya sepotong roti dengan lembaran kertas hijau ini, itu tak akan berarti apa-apa. Saya bisa langsung pergi beberapa blok ke pasar swalayan terderkat. Namun, jika kasir pasar swalayan tak mau menerima lembaran kertas itu, di samping para pedagang di pasar, dan para penjual di mall, maka dolar itu kehilangan nilainya. Lembar kertas hijau itu akan tetap ada, tentu saja, tetapi tak ada nilainya.
Hal semacam itu sesungguhnya terjadi dari waktu ke waktu. Pada 3 November 1985, pemerintah Myanmar secara tak terduga mengumumkan bahwa uang nominal 25, 50, dan 100 kyats tidak berlaku lagi. Orang-orang tak diberi waktu untuk menukar uang-uang tersebut, dan tabungan selama hidup tiba-tiba langsung berubah menjadi tumpukan kertas tak berguna. Untuk menggantikan uang-uang yang tak laku lagi itu, pemerintah memperkenalkan uang baru pecahan 75 kyat, yang diduga untuk menghormati hari ulang tahun ke-75 sang diktator Myanmar, Jenderal Ne Win. Pada Agustus 1986, uang-uang pecahan 15 kyat dan 35 kyat diterbitkan. Rumor beredar bahwa sang diktator yang punya kepercayaan kuat pada numerologi, percaya bahwa 15 dan 35 adalah angka keberuntungan. Angka-angka itu membawa keberuntungan kecil bagi urusan-urusannya. Pada 5 September 1987, pemerintah tiba-tiba menetapkan bahwa semua uang pecahan 35 dan 75 tak berlaku lagi.
Nilai uang bukan satu-satunya hal yang bisa menguap begitu orang berhenti mempercayainya. Hal yang sama juga berlaku pada hukum, Tuhan, bahkan imperium. Pada satu saat, mereka sibuk membentuk dunia, dan pada saat berikutnya mereka tidak ada. Zeus dan Hera pernah menjadi kekuatan penting di daratan Mediteran, tetapi kini tak punya otoritas sama sekali karena tak ada orang yang mempercayainya. Uni Soviet dulu pernah memungkinkan untuk menghancurkan seluruh ras manusia, tetapi ia tidak eksis lagi berkat sebuah goresan pena. Pada pukul 02.00 siang pada 8 Desember 1991, di sebuah wisma negara dekat Viskuli, para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarusia, menandatangani Perjanjian Belavezha, yang menyatakan, "Kami, Republik Belarusia, Federasi Rusia dan Ukraina, sebagai negara-negara pendiri USSR (Uni Soviet Soscalist Russia) yang menandatangani Perjanjian Unio tahun 1922, dengan ini menyatakan bahwa USSR tunduk pada hukum internasional, dan sebagai sebuah realitas geopolitik telah mengakhiri eksistensinya." Dan begitulah. Tak ada lagi Uni Soviet.
Relatif mudah untuk menerima bahwa uang adalah sebuah realitas intersubjektif. Sebagian besar orang juga senang mengakui bahwa dewa-dewa Yunani kuno, imperium-imperium jahat, dan nilai-nilai budaya asing ada hanya dalam imajinasi. Meskipun demikian, kita tidak ingin menerima bahwa Tuhan kita, negara kita, atau nilai-nilai kita hanya fiksi belaka karena semua hal ini memberi makna bagi kehidupan kita. Kita ingin percaya bahwa kehidupan kita memiliki makna objektif, dan bahwa pengorbanan kita berarti untuk sesuatu di luar cerita-cerita dalam kepala kita. Meskipun demikian, sesungguhnya kehidupan sebagian besar orang memiliki makna hanya dalam jaringan cerita yang saling mereka ceritakan.
Makna diciptakan ketika banyak orang menjalin bersama jaringan cerita bersama. Mengapa sebuah perbuatan tertentu seperti menikah di gereja, berpuasa pada bulan Ramadhan, atau memberikan suara pada hari pemilihan umum tampak bermakna bagi saya? Karena orangtua saya juga berpikir itu bermakna, sebagaimana juga saudara-saudara saya, tetangga saya, orang-orang di kota tetangga, dan bahkan para penduduk di negeri-negeri nun jauh di sana. Dan, mengapa semua orang ini berpikir itu bermakna? Karena teman-teman dan tetangga-tetangga mereka juga punya pandangan yang sama. Orang terus menerus saling menguatkan keyakinan dalam suatu lingkaran yang membesar dengan sendirinya. Setiap lingkaran konfirmasi timbal balik menguatkan jejaring makna lebih jauh sampai anda tak punya banyak pilihan, selain harus percaya apa yang dipercaya setiap orang.
Tetapi, selama puluhan tahun dan berabad-abad jaringan makna pudar dan sebuah jejaring baru terjalin menggantikannya. Mempelajari sejarah berarti menyaksikan pemintalan dan penjalinan jejaring-jejaring ini, dan menyadari bahwa apa yang tampak bagi orang pada satu masa sebagai hal paling penting, menjadi tak berarti sama sekali bagi keturunan mereka.
Pada 1187, Shalahuddin mengalahkan pasukan salib dalam pertempuran Hattin dan menaklukan Yerusalem. Sebagai balasan, Paus melancarkan Perang Salib ketiga untuk merebut kembali kota suci itu. Bayangkan, seorang bangsawan muda Inggris bernama John, yang meninggalkan rumah untuk memerangi Shalahuddin. John percaya bahwa jika mati dalam Perang Salib, setelah kematian jiwanya akan naik ke Surga, tempat dia akan menikmati kebahagiaan langit yang abadi. Dia pasti akan ngeri kalau tahu bahwa jiwa dan Surga hanyalah cerita-cerita yang diciptakan oleh manusia. John dengan sepenuh hati yakin bahwa jika dia mencapai Tanah Suci (Yerusalem), dan jiga sebagian pasukan Muslim dengan brewok lebat menebaskan kapak ke lehernya, dia akan merasakan sakit tak terperikan, telinganya akan berdengung, kakinya akan remuk di bawahnya, pandangan matanya akan berubah menjadi hitam dan sesaat kemudian dia akan melihat cahaya hebat di sekelilingnya, dan sayap-sayap kerubin yang bersinar akan membimbing dia melewati gerbang emas yang megah.
John memiliki keyakinan yang sangat kuat pada semua ini karena dia terperangkap dalam jejaring makna yang luar biasa padat dan kuat. Kenangan paling lamanya adalah pedang berkarat milik kakeknya, Henry, yang menggantung di ruang utama kastel. Sejak balita, John sudah mendengar cerita-cerita tentang kakek Henry yang meninggal pada Perang Salib Kedua dan yang kini bersemayam dengan para malaikat di Surga, menyaksikan John dan keluarganya. Ketika para penyanyi mendatangi kastelnya, mereka biasanya menyanyikan tentang para pejuang Perang Salib yang gagah berani berperang di Tanah Suci. Ketika pergi ke gereja, John senang memandangi jendela-jendela kaca patri. Salah satunya menunjukan Godfrey dari Buoillion menunggang kuda dengan tombaknya menusuk seorang Muslim bertampang jahat. Jendela lainnya menunjukan jiwa-jiwa para pendosa hangus di Neraka. John mendengarkan dengan tekun wejangan pendeta setempat , orang yang paling banyak belajar dan banyak tahu. Hampir setiap minggu pendeta itu menjelaskan dengan menggunakan perumpamaan yang dirancang dengan baik dan lelucon-lelucon yang menyenangkan bahwa tidak ada penyelamatan di luar Gereja Katolik, bahwa Paus di Roma adalah bapak suci kita dan bahwa dia selalu harus mematuhi perintahnya. Jika kita membunuh atau mencuri, Tuhan akan mengirim kita ke Neraka, tapi jika kita membunuh kaum kafir Muslim, Tuhan akan menyambut kita di Surga.
Suatu hari, ketika John baru berusia 18 tahun, seorang kesatria dengan wajah kusut masuk gerbang kastel, dan dalam suara tersekat, menyampaikan kabar: Shalahuddin telah menghancurkan angkatan Perang Salib di Hattin! Yerusalem jatuh! Paus sudah mendeklarasikan perang baru, menjanjikan penyelamatan abadi kepada siapa pun yang mati di dalamnya! Di sekelilingnya, orang tampak terguncang dan cemas, tetapi wajah John berseri-berseri dalam suatu pancaran dunia lain dan dia berseru: "Saya akan pergi memerangi kaum kafir dan membebaskan Tanah Suci!" Semua orang terdiam beberapa saat, kemudian senyum dan air mata membasahi wajah mereka. Ibunya menhusap air mata, memberi John pelukan hangat dan berkata kepadanya. Ayahnya memberinya sebuah tepukan di punggung yang dahsyat dan berkata: "Kalau saja aku seusiamu, wahai putraku, aku akan ikut bersamamu. Kehormatan keluarga kita menjadi taruhannya. Aku yakin engkau tidak akan mengecewakan kami!" Dua rekannya mengumumkan bahwa mereka juga akan ikut. Bahkan, musuh bebuyutan John, baron di seberang sungai, mengunjungi dia untuk mendoakan.
Saat John berangkat dari kastel, para penduduk desa berhamburan keluar dari gubuk-gubuk mereka untuk melambaikan tangan kepadanya, dan semua gadis cantik menatap penuh kagum pada sang pejuang pemberani yang berangkat untuk memerangi kaum kafir. Ketika dia beralayar dari Inggris dan dalam perjalanan menuju tanah yang asing dan jauh, Provinsi Normandia di Sisilia bergabung bersama dia sekawanan kesatria asing, semua dengan tujuan yang sama dan keyakinan yang sama. Ketika angkatan perang akhirnya tiba di Tanah Suci dan melancarkan pertempuran melawan tuan rumah Shalahuddin, John terperanjat mendapati bahwa bahkan kaum Saracen yang kejam pun memiliki persamaan keyakinan dengannya. Benar, mereka agak kebingungan, menganggap orang Kristen adalah kaum kafir dan bahwa orang Muslim mematuhi kehendak Tuhan. Namun, mereka juga menerima prinsip dasar bahwa mereka yang berperang demi Tuhan dan Yerusalem akan langaung masuk surga bila mati.
Dengan cara seperti itu, helai demi helai, peradaban abad pertengahan menjalin maknanya, memerangkap John dan rekan-rekannya seperti lalat-lalat. Bagi John, tak terbayangkan bahwa semua cerita ini hanya isapan jempol dan imajinasi. Mungkin kedua orangtuanya dan paman-pamannya salah. Namun, para penyanyi, juga semua temannya, dan gadis-gadis desa, pendeta terpelajar, baron di seberang sungai, Paus di Roma, para kesatria Provencal dan Sisilia, dan orang-orang Muslim itu sendiri, apakah mungkin mereka semua berhalusinasi?
Dan, tahun demi tahun berlalu. Seperti yang disaksikan para sejarawan, jejaring makna pudar dan jejaring baru terjalin. Kedua orangtua John meninggal, diikuti semua saudara dan teman-temannya. Bukan lagu-lagu perjuangan Perang Salib yang dinyanyikan para penyanyi, mode yang baru adalah panggung drama tentang kisah cinta yang tragis. Kastel keluarga rata dengan tanah ketika dibangun kembali, tak ada jejak pedang kakek Henry. Jendela- jendela Gereja tercerai-berai oleh serangan badai musim dingin, dan kaca-kaca penggantinya idak menggambarkan Godfrey dari Buoillon serta para pendosa di Neraka, tetapi kemenangan besar raja Inggris atas raja Perancis. Pendeta setempat berhenti menyebut Paus "bapak suci kita" dia kini disebut sebagai "setan di Roma". Di universitas dekat gereja para sarjana menekuni manuskrip-manuskrip Yunani kuno, membedah mayat-mayat, dan berbisik diam-diam di balik pintu bahwa mungkin tak ada yang namanya jiwa.
Dan, tahun-tahun terus berlalu. Ditempat dulu berdiri kastel, kini ada pusat perbelanjaan. Di sinema lokal mereka menampilkan Monty Pyton and the Holy Grail untuk kesekian kalinya. Dalam sebuah gereja yang kosong seorang paderi yang bosan bersukacita melihat dua orang turis dari Jepang. Dia menjelaskan panjang lebar tentang jendela-jendela kaca patri, sementara para tamunya tersenyum tipis, mengangguk dalam ketidakpahaman total. Di tangga luar, sekawanan remaja sedang memainkan iPhone. Mereka menonton aransemen ulang YouTube lagu "imagine" -nya John Lennon. "Bayangkan tak ada surga, mudah jika kau mencoba," begitu nukilan lagu Lennon. Seorang petugas pembersih jalan asal Pakistan menyapu trotoar sementara stasiun radio di dekat sana menyiarkan berita: pembantaian di Suriah berlanjut, dan sidang Dewan Keamanan berakhir dalam kebuntuan. Tiba-tiba sebuah lobang waktu terbuka, sebuah pancaran misterius cahaya menyinari wajah salah satu remaja itu, yang berseru akan pergi memerangi kaum kafir dan membebaskan tanah suci!
Kaum kafir dan Tanah Suci? Kata-kata ini tak lagi membawa makna bagi sebagian besar orang di Inggris hari ini. Bahkan, sang paderi itu pun mungkin berpikir remaja itu mengalami sebentuk episode psikotik. Sebaliknya, jika seorang pemuda Inggris memutuskan untuk bergabung dengan Amnesti Internasional dan pergi ke Suriah untuk melindungi hak-hak asasi manusia para pengungsi, dia akan dipandang sebagai pahlawan. Pada Abad Pertengahan, orang-orang akan menganggap dia sudah gila. Tak seorang pun pada abad ke-12 ingin pergi ke Timur Tengah dan mempertaruhkan nyawa tidak dalam rangka membunuh Muslim, tetapi untuk melindungi sekelompok orang Muslim dan orang Muslim lainnya. Anda pasti sudah hilang akal.
Begitulah yang diungkap oleh sejarah. Orang merajut jejaring makna, mempercayainya sepenuh hati, tetapi cepat atau lambat jejaring itu pudar, dan ketika kita menengok ke belakang, kita tak bisa mengerti bagaimana bisa orang menganggapnya serius. Dengan pandangan sekilas saja, pergi berperang dengan harapan mencapai surga benar-benar gila. Dengan pandangan sekilas saja, Perang Dingin terasa lebih gila. Bagaimana bisa 30 tahun lalu orang-orang bersedia menantang kiamat nuklir karena keyakinan mereka pada surga komunis? Selama 100 tahun dari sekarang, keyakinan kita pada demokrasi dan hak-hak asasi pun sama tak bisa dimengerti oleh keturunan kita.
Suara Adzan memberikan isyarat bahwa kini waktu telah menunjukan pukul 18.17 petang. Aku segera menutup buku, lalu bergegas mengambil wudhu, ketika mengambil air wudhu terngiang analogi yang baru saja disuguhkan Harari dengan perumpamaan yang sangat apik, kedua ujung bibirku melebar, kepalaku mengangguk-angguk seakan mengiyakan yang tak tahu sumbernya dari mana, lalu bergumam didalam hati: "SkenarioMu begitu indah untuk disineaskan". Aku sedikit terperanjat ketika takbir pertama, ujung mataku menangkap jaket seragam driver ojolku , "Ya ampun, seharusnya aku sudah di jalan."
Sumber: Buku Homo Deus - Masa Depan Umat Manusia karya Yuval Noah Harari.
Orang kesulitan memahami ide tentang "tatanan yang diimajinasikan" karena mereka berasumsi bahwa hanya ada dua jenis realitas: realitas objektif dan realitas subjektif. Dalam realitas objektif sesuatu ada secara independen dari keyakinan dan perasaan kita. Gravitasi, misalnya, adalah sebuah realitas objektif. Ia ada jauh sebelum Newton, dan ia berdampak pada orang-orang yang mempercayainya.
Sebaliknya, realitas subjektif bergantung pada keyakinan dan perasaan personal saya. Misalnya, saya merasakan nyeri yang hebat di kepala dan pergi ke dokter. Dokter memeriksa saya dengan teliti, tetapi tak menemukan masalah apa pun. Maka, dia mengirim saya untuk tes darah, air seni, DNA, X-ray, electrocardiogram, scan fMRI dan banyak lagi prosedur lainnya. Ketika hasilnya datang, dia memberitahu bahwa saya sehat sempurna, dan saya bisa pulang. Namun, saya masih merasa nyeri hebat dikepala. Sekalipun setiap tes objektif tak menemukan masalah apa pun pada saya, dan meski tak seorang pun kecuali saya yang merasa nyeri, bagi saya nyeri itu 100 persen riil.
Sebagian orang menyangka bahwa sebuah realitas itu mesti objektif atau subjektif, dan tidak ada opsi ketiga. Karena itu, ketika mereka yakin dengan pemahamannya bahwa ada sesuatu yang bukan hanya perasaan subjektifnya sendiri, dia langsung menyimpulkan itu pasti objektif. Jika banyak orang percaya kepada Tuhan; jika uang membuat dunia menyatu; dan jika nasionalisme memulai perang dan membangun imperium, maka hal-hal ini tidak hanya keyakinan subjektif. Karena itu, Tuhan, uang, dan negara pasti realitas objektif.
Tetapi, ada level realitas ketiga: level intersubjektif. Entitas intersubjektif bergantung pada komunikasi, di antara banyak manusia, bukan pada keyakinan dan perasaan individual manusia. Banyak dari pelaku-pelaku sejarah yang paling penting adalah intersubjektif. Uang, misalnya, tak punya nilai objektif. Anda tak bisa memakan, meminum, atau mengenakan satu lembar uang kertas. Namun, selama miliaran orang percaya pada nilainya, Anda bisa menggunakannya untuk membeli makanan, minuman, atau pakaian. Jika tukang roti tiba-tiba kehilangan kepercayaannya pada uang dolar, dan dia tak mau memberi saya sepotong roti dengan lembaran kertas hijau ini, itu tak akan berarti apa-apa. Saya bisa langsung pergi beberapa blok ke pasar swalayan terderkat. Namun, jika kasir pasar swalayan tak mau menerima lembaran kertas itu, di samping para pedagang di pasar, dan para penjual di mall, maka dolar itu kehilangan nilainya. Lembar kertas hijau itu akan tetap ada, tentu saja, tetapi tak ada nilainya.
Hal semacam itu sesungguhnya terjadi dari waktu ke waktu. Pada 3 November 1985, pemerintah Myanmar secara tak terduga mengumumkan bahwa uang nominal 25, 50, dan 100 kyats tidak berlaku lagi. Orang-orang tak diberi waktu untuk menukar uang-uang tersebut, dan tabungan selama hidup tiba-tiba langsung berubah menjadi tumpukan kertas tak berguna. Untuk menggantikan uang-uang yang tak laku lagi itu, pemerintah memperkenalkan uang baru pecahan 75 kyat, yang diduga untuk menghormati hari ulang tahun ke-75 sang diktator Myanmar, Jenderal Ne Win. Pada Agustus 1986, uang-uang pecahan 15 kyat dan 35 kyat diterbitkan. Rumor beredar bahwa sang diktator yang punya kepercayaan kuat pada numerologi, percaya bahwa 15 dan 35 adalah angka keberuntungan. Angka-angka itu membawa keberuntungan kecil bagi urusan-urusannya. Pada 5 September 1987, pemerintah tiba-tiba menetapkan bahwa semua uang pecahan 35 dan 75 tak berlaku lagi.
Nilai uang bukan satu-satunya hal yang bisa menguap begitu orang berhenti mempercayainya. Hal yang sama juga berlaku pada hukum, Tuhan, bahkan imperium. Pada satu saat, mereka sibuk membentuk dunia, dan pada saat berikutnya mereka tidak ada. Zeus dan Hera pernah menjadi kekuatan penting di daratan Mediteran, tetapi kini tak punya otoritas sama sekali karena tak ada orang yang mempercayainya. Uni Soviet dulu pernah memungkinkan untuk menghancurkan seluruh ras manusia, tetapi ia tidak eksis lagi berkat sebuah goresan pena. Pada pukul 02.00 siang pada 8 Desember 1991, di sebuah wisma negara dekat Viskuli, para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarusia, menandatangani Perjanjian Belavezha, yang menyatakan, "Kami, Republik Belarusia, Federasi Rusia dan Ukraina, sebagai negara-negara pendiri USSR (Uni Soviet Soscalist Russia) yang menandatangani Perjanjian Unio tahun 1922, dengan ini menyatakan bahwa USSR tunduk pada hukum internasional, dan sebagai sebuah realitas geopolitik telah mengakhiri eksistensinya." Dan begitulah. Tak ada lagi Uni Soviet.
Relatif mudah untuk menerima bahwa uang adalah sebuah realitas intersubjektif. Sebagian besar orang juga senang mengakui bahwa dewa-dewa Yunani kuno, imperium-imperium jahat, dan nilai-nilai budaya asing ada hanya dalam imajinasi. Meskipun demikian, kita tidak ingin menerima bahwa Tuhan kita, negara kita, atau nilai-nilai kita hanya fiksi belaka karena semua hal ini memberi makna bagi kehidupan kita. Kita ingin percaya bahwa kehidupan kita memiliki makna objektif, dan bahwa pengorbanan kita berarti untuk sesuatu di luar cerita-cerita dalam kepala kita. Meskipun demikian, sesungguhnya kehidupan sebagian besar orang memiliki makna hanya dalam jaringan cerita yang saling mereka ceritakan.
Makna diciptakan ketika banyak orang menjalin bersama jaringan cerita bersama. Mengapa sebuah perbuatan tertentu seperti menikah di gereja, berpuasa pada bulan Ramadhan, atau memberikan suara pada hari pemilihan umum tampak bermakna bagi saya? Karena orangtua saya juga berpikir itu bermakna, sebagaimana juga saudara-saudara saya, tetangga saya, orang-orang di kota tetangga, dan bahkan para penduduk di negeri-negeri nun jauh di sana. Dan, mengapa semua orang ini berpikir itu bermakna? Karena teman-teman dan tetangga-tetangga mereka juga punya pandangan yang sama. Orang terus menerus saling menguatkan keyakinan dalam suatu lingkaran yang membesar dengan sendirinya. Setiap lingkaran konfirmasi timbal balik menguatkan jejaring makna lebih jauh sampai anda tak punya banyak pilihan, selain harus percaya apa yang dipercaya setiap orang.
Tetapi, selama puluhan tahun dan berabad-abad jaringan makna pudar dan sebuah jejaring baru terjalin menggantikannya. Mempelajari sejarah berarti menyaksikan pemintalan dan penjalinan jejaring-jejaring ini, dan menyadari bahwa apa yang tampak bagi orang pada satu masa sebagai hal paling penting, menjadi tak berarti sama sekali bagi keturunan mereka.
Pada 1187, Shalahuddin mengalahkan pasukan salib dalam pertempuran Hattin dan menaklukan Yerusalem. Sebagai balasan, Paus melancarkan Perang Salib ketiga untuk merebut kembali kota suci itu. Bayangkan, seorang bangsawan muda Inggris bernama John, yang meninggalkan rumah untuk memerangi Shalahuddin. John percaya bahwa jika mati dalam Perang Salib, setelah kematian jiwanya akan naik ke Surga, tempat dia akan menikmati kebahagiaan langit yang abadi. Dia pasti akan ngeri kalau tahu bahwa jiwa dan Surga hanyalah cerita-cerita yang diciptakan oleh manusia. John dengan sepenuh hati yakin bahwa jika dia mencapai Tanah Suci (Yerusalem), dan jiga sebagian pasukan Muslim dengan brewok lebat menebaskan kapak ke lehernya, dia akan merasakan sakit tak terperikan, telinganya akan berdengung, kakinya akan remuk di bawahnya, pandangan matanya akan berubah menjadi hitam dan sesaat kemudian dia akan melihat cahaya hebat di sekelilingnya, dan sayap-sayap kerubin yang bersinar akan membimbing dia melewati gerbang emas yang megah.
John memiliki keyakinan yang sangat kuat pada semua ini karena dia terperangkap dalam jejaring makna yang luar biasa padat dan kuat. Kenangan paling lamanya adalah pedang berkarat milik kakeknya, Henry, yang menggantung di ruang utama kastel. Sejak balita, John sudah mendengar cerita-cerita tentang kakek Henry yang meninggal pada Perang Salib Kedua dan yang kini bersemayam dengan para malaikat di Surga, menyaksikan John dan keluarganya. Ketika para penyanyi mendatangi kastelnya, mereka biasanya menyanyikan tentang para pejuang Perang Salib yang gagah berani berperang di Tanah Suci. Ketika pergi ke gereja, John senang memandangi jendela-jendela kaca patri. Salah satunya menunjukan Godfrey dari Buoillion menunggang kuda dengan tombaknya menusuk seorang Muslim bertampang jahat. Jendela lainnya menunjukan jiwa-jiwa para pendosa hangus di Neraka. John mendengarkan dengan tekun wejangan pendeta setempat , orang yang paling banyak belajar dan banyak tahu. Hampir setiap minggu pendeta itu menjelaskan dengan menggunakan perumpamaan yang dirancang dengan baik dan lelucon-lelucon yang menyenangkan bahwa tidak ada penyelamatan di luar Gereja Katolik, bahwa Paus di Roma adalah bapak suci kita dan bahwa dia selalu harus mematuhi perintahnya. Jika kita membunuh atau mencuri, Tuhan akan mengirim kita ke Neraka, tapi jika kita membunuh kaum kafir Muslim, Tuhan akan menyambut kita di Surga.
Suatu hari, ketika John baru berusia 18 tahun, seorang kesatria dengan wajah kusut masuk gerbang kastel, dan dalam suara tersekat, menyampaikan kabar: Shalahuddin telah menghancurkan angkatan Perang Salib di Hattin! Yerusalem jatuh! Paus sudah mendeklarasikan perang baru, menjanjikan penyelamatan abadi kepada siapa pun yang mati di dalamnya! Di sekelilingnya, orang tampak terguncang dan cemas, tetapi wajah John berseri-berseri dalam suatu pancaran dunia lain dan dia berseru: "Saya akan pergi memerangi kaum kafir dan membebaskan Tanah Suci!" Semua orang terdiam beberapa saat, kemudian senyum dan air mata membasahi wajah mereka. Ibunya menhusap air mata, memberi John pelukan hangat dan berkata kepadanya. Ayahnya memberinya sebuah tepukan di punggung yang dahsyat dan berkata: "Kalau saja aku seusiamu, wahai putraku, aku akan ikut bersamamu. Kehormatan keluarga kita menjadi taruhannya. Aku yakin engkau tidak akan mengecewakan kami!" Dua rekannya mengumumkan bahwa mereka juga akan ikut. Bahkan, musuh bebuyutan John, baron di seberang sungai, mengunjungi dia untuk mendoakan.
Saat John berangkat dari kastel, para penduduk desa berhamburan keluar dari gubuk-gubuk mereka untuk melambaikan tangan kepadanya, dan semua gadis cantik menatap penuh kagum pada sang pejuang pemberani yang berangkat untuk memerangi kaum kafir. Ketika dia beralayar dari Inggris dan dalam perjalanan menuju tanah yang asing dan jauh, Provinsi Normandia di Sisilia bergabung bersama dia sekawanan kesatria asing, semua dengan tujuan yang sama dan keyakinan yang sama. Ketika angkatan perang akhirnya tiba di Tanah Suci dan melancarkan pertempuran melawan tuan rumah Shalahuddin, John terperanjat mendapati bahwa bahkan kaum Saracen yang kejam pun memiliki persamaan keyakinan dengannya. Benar, mereka agak kebingungan, menganggap orang Kristen adalah kaum kafir dan bahwa orang Muslim mematuhi kehendak Tuhan. Namun, mereka juga menerima prinsip dasar bahwa mereka yang berperang demi Tuhan dan Yerusalem akan langaung masuk surga bila mati.
Dengan cara seperti itu, helai demi helai, peradaban abad pertengahan menjalin maknanya, memerangkap John dan rekan-rekannya seperti lalat-lalat. Bagi John, tak terbayangkan bahwa semua cerita ini hanya isapan jempol dan imajinasi. Mungkin kedua orangtuanya dan paman-pamannya salah. Namun, para penyanyi, juga semua temannya, dan gadis-gadis desa, pendeta terpelajar, baron di seberang sungai, Paus di Roma, para kesatria Provencal dan Sisilia, dan orang-orang Muslim itu sendiri, apakah mungkin mereka semua berhalusinasi?
Dan, tahun demi tahun berlalu. Seperti yang disaksikan para sejarawan, jejaring makna pudar dan jejaring baru terjalin. Kedua orangtua John meninggal, diikuti semua saudara dan teman-temannya. Bukan lagu-lagu perjuangan Perang Salib yang dinyanyikan para penyanyi, mode yang baru adalah panggung drama tentang kisah cinta yang tragis. Kastel keluarga rata dengan tanah ketika dibangun kembali, tak ada jejak pedang kakek Henry. Jendela- jendela Gereja tercerai-berai oleh serangan badai musim dingin, dan kaca-kaca penggantinya idak menggambarkan Godfrey dari Buoillon serta para pendosa di Neraka, tetapi kemenangan besar raja Inggris atas raja Perancis. Pendeta setempat berhenti menyebut Paus "bapak suci kita" dia kini disebut sebagai "setan di Roma". Di universitas dekat gereja para sarjana menekuni manuskrip-manuskrip Yunani kuno, membedah mayat-mayat, dan berbisik diam-diam di balik pintu bahwa mungkin tak ada yang namanya jiwa.
Dan, tahun-tahun terus berlalu. Ditempat dulu berdiri kastel, kini ada pusat perbelanjaan. Di sinema lokal mereka menampilkan Monty Pyton and the Holy Grail untuk kesekian kalinya. Dalam sebuah gereja yang kosong seorang paderi yang bosan bersukacita melihat dua orang turis dari Jepang. Dia menjelaskan panjang lebar tentang jendela-jendela kaca patri, sementara para tamunya tersenyum tipis, mengangguk dalam ketidakpahaman total. Di tangga luar, sekawanan remaja sedang memainkan iPhone. Mereka menonton aransemen ulang YouTube lagu "imagine" -nya John Lennon. "Bayangkan tak ada surga, mudah jika kau mencoba," begitu nukilan lagu Lennon. Seorang petugas pembersih jalan asal Pakistan menyapu trotoar sementara stasiun radio di dekat sana menyiarkan berita: pembantaian di Suriah berlanjut, dan sidang Dewan Keamanan berakhir dalam kebuntuan. Tiba-tiba sebuah lobang waktu terbuka, sebuah pancaran misterius cahaya menyinari wajah salah satu remaja itu, yang berseru akan pergi memerangi kaum kafir dan membebaskan tanah suci!
Kaum kafir dan Tanah Suci? Kata-kata ini tak lagi membawa makna bagi sebagian besar orang di Inggris hari ini. Bahkan, sang paderi itu pun mungkin berpikir remaja itu mengalami sebentuk episode psikotik. Sebaliknya, jika seorang pemuda Inggris memutuskan untuk bergabung dengan Amnesti Internasional dan pergi ke Suriah untuk melindungi hak-hak asasi manusia para pengungsi, dia akan dipandang sebagai pahlawan. Pada Abad Pertengahan, orang-orang akan menganggap dia sudah gila. Tak seorang pun pada abad ke-12 ingin pergi ke Timur Tengah dan mempertaruhkan nyawa tidak dalam rangka membunuh Muslim, tetapi untuk melindungi sekelompok orang Muslim dan orang Muslim lainnya. Anda pasti sudah hilang akal.
Begitulah yang diungkap oleh sejarah. Orang merajut jejaring makna, mempercayainya sepenuh hati, tetapi cepat atau lambat jejaring itu pudar, dan ketika kita menengok ke belakang, kita tak bisa mengerti bagaimana bisa orang menganggapnya serius. Dengan pandangan sekilas saja, pergi berperang dengan harapan mencapai surga benar-benar gila. Dengan pandangan sekilas saja, Perang Dingin terasa lebih gila. Bagaimana bisa 30 tahun lalu orang-orang bersedia menantang kiamat nuklir karena keyakinan mereka pada surga komunis? Selama 100 tahun dari sekarang, keyakinan kita pada demokrasi dan hak-hak asasi pun sama tak bisa dimengerti oleh keturunan kita.
Suara Adzan memberikan isyarat bahwa kini waktu telah menunjukan pukul 18.17 petang. Aku segera menutup buku, lalu bergegas mengambil wudhu, ketika mengambil air wudhu terngiang analogi yang baru saja disuguhkan Harari dengan perumpamaan yang sangat apik, kedua ujung bibirku melebar, kepalaku mengangguk-angguk seakan mengiyakan yang tak tahu sumbernya dari mana, lalu bergumam didalam hati: "SkenarioMu begitu indah untuk disineaskan". Aku sedikit terperanjat ketika takbir pertama, ujung mataku menangkap jaket seragam driver ojolku , "Ya ampun, seharusnya aku sudah di jalan."
Sumber: Buku Homo Deus - Masa Depan Umat Manusia karya Yuval Noah Harari.

Komentar