Langsung ke konten utama

Kebudayaan | Sharing #5

Jujur, pada malam ini aku larut dalam buayan musik instrumental kecapi suling sunda, menyejukan hati. Melodi dalam bunyian suling, petikan-petikan nada dari kecapi, serta di bumbui dengan suara gemiricik air dan segala rupa suara satwa di alam bebas, menjadikan instrumen musikalisasi ini sangat-sangat alamiah. Seolah membawa kepada kehidupan sesungguhnya manusiawi, menyatu dengan alam, saling menghargai antara manusia dengan hewan. Aku tersadar bahwa sangatlah berkualitas orang-orang terdahulu yang hidupnya di pedesaan. Tidak ada ambisius terhadap dunia fana ini, mengejar titel demi sebuah kedudukan yang diimpikan. Banyak dari persaingan ini menjadikan individu-individu saling sikut, saling menjatuhkan sama lain, bahkan saling tusuk-menusuk, karena tak lain naluri duniawi menggelapkan pandangan manusiawi. Hanya nafsulah yang menggerus sifat alamiah manusia. Benar adanya dalam percakapan orang terdahulu yang notabene hidup di pedesaan, bahwa definisi bahagia itu sederhana: "menyatulah dengan alam, interaksilah dengan hewan, kamu pasti mendapatkan kebahagiaan alamiah". Yaps, betul banget. Kita lihat orang-orang di era milenial ini, yang katanya modern. Tak bisa dipungkiri bahwa orang-orang modern ini menemukan kebahagiannya ketika berada di alam terbuka, termasuk keindahan alamnya pula. Destinasinya tak lain berkunjung ke pantai atau mungkin ke pegunungan, ini adalah naluriah alami dalam diri setiap individu yang bernama manusia.

Aku lahir ditanah parahyangan, yang dulunya adalah wilayah kerajaan pajajaran, yang tak lain adalah kerajaan sunda. Orang sunda dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan spiritual. Slogan kami adalah silih asih, silih asah, silih asuh; saling mengasihi, saling memperbaiki, dan saling menjaga satu sama lain. Pada dasarnya suku kami suku sunda adalah kelompok etnis yang mengedepankan gotong royong, tetapi diera milenial ini yang katanya modern, kami pemuda-pemudi suku sunda sedikit tergerus oleh budaya asing yang tak tahu dan tak jelas apa sangkut pautnya dengan budaya kami, sebagian mungkin karena tontonan dan virus dari berbagai macam sosial media. Generasi penerus bangsa yang lupa akan karakter kebudayaan bangsa, ya itulah kami.

Aku tidak menyalahkan teknologi, karena ini adalah perubahan dan perkembangan zaman, mau tidak mau pada akhirnya akan terjerumus juga. Manusia adalah makhluk lintas zaman, dari zaman pra-sejarah hingga sampai pada zaman modern ini. Sudah terbukti bahwa manusia adalah makhluk berpikir, hasil berpikir itulah yang bisa kita nikmati di kehidupan modern ini, kita dimanjakan dengan segala macam aplikasi smartphone, dalam hal komunikasipun perkembangannya sangat pesat. Kita tak perlu lagi ke kantor pos hanya sekadar mengirimkan surat, melalui smartphone saja pesanpun bisa terkirim sampai lintas negara, bahkan lintas benua.

Dari majunya teknologi ini para pemuda-pemudi di Indonesia bisa melihat gaya hidup dengan budaya yang jauh berbeda dengan budaya kami sendiri. Seolah ada ketertarikan atau hanya ingin terlihat keren saja dimata orang lain, entahlah. Imbasnya apa? Bermuculanlah pengkritik handal perihal keadaan di negerinya sendiri.
"Kok indo ga maju-maju ya? Padahal sumber daya alam kita sangat kaya, masa kalah sama negara tetangga"
"Orang indo cara berpikirnya kuno ya"
"Indo kota sampah, iuwh orangnya jorok-jorok"
"Kapan kota besar di Indo ini terbebas dari masalah kemacetan?"
Itu adalah sebagian komentar yang terangkum olehku dari para pemuda-pemudi di Indonesia ini. Sampai kapanpun apabila pemuda-pemudinya hanya seperti ini, dan tak berbuat apa-apa, Indonesia hanya menjadi negara berkembang saja mungkin sampai puluhan tahun kedepan, toh dengan kebudayaannya sendiri saja kekih banget.

Jadikan kebudayaan Indonesia sebagai nilai-nilai dari kemajuan untuk bangsa ini, jadikan Indonesia negara maju yang tidak kehilangan karakter ke Indonesiaan. Kalau bukan kita siapa lagi? Percuma saja bersekolah tinggi kalau ilmunya hanya untuk diri sendiri, enggan bersosialisasi dengan rakyat kecil, enggan untuk melebur dengan pedesaan, lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Simbolik Merubah Daya Nalar / Manipulator Estetika

     "Enam tahun berlalu, dan rasanya seperti dua kehidupan yang berbeda." Nggak nyangka juga, akhirnya nulis lagi di blog ini—yang entah bagaimana masih bertahan meski pemiliknya sibuk survive dan belajar jadi manusia. Dalam enam tahun terakhir, karier naik turun kayak roller coaster, dan perjalanan batin? hhmm... sangat mengesankan. Tapi justru dari situ semua, banyak hal tumbuh… pelan-pelan, dalam diam, tapi nyata. Jadi, tulisan ini semacam sapaan hangat dari versi diriku yang sekarang—lebih lelah, tapi juga lebih paham arah.       Ada getaran batin ketika meng-klik thumbnail salah satu video yang baru saja ku tonton. Itulah yang aku rasakan saat menonton yang entah kenapa, hadir di waktu yang begitu tepat. Bukan tayangan viral atau konten sensasi. Tapi sebuah suguhan yang penuh makna, menggali akar sejarah, spiritualitas, dan jati diri bangsa. Ini sebuah pengingat sunyi namun kuat, bahwa kita—sebagai anak-anak Nusantara—telah terlalu lama berpa...

Diskusi Alam | Sharing #17

Adakah satu saja langkah dalam perjalanan panjang dan berbelok ini, antara aksi dan reaksi perihal kepastian? Yang mana tidak melakukan aksi, hanya menunggu reaksi tanpa kita proses mekanismenya? Kurasa tidak ada, bahkan proses keajaiban pun memerlukan prosesi yang sangat panjang, tak lain proses sebab akibat yang ditimbulkan si penerima keajaiban. Ditempatku duduk sekarang ini, tepat di tepian pantai pukul 20.30 waktu setempat, ada keajaiban jiwa yang sangat kontras ketimbang saat menyeruput kopi di penginapan tadi. Ombakpun seolah membuka diskusi dengan suara gemuruhnya. Sang ombak membuka pernyataan melalui aksi reaksi ditepian pantainya yang saling mencumbui hingga bibir pantai, sang angin menambahkan melalui kelembutan terpaan yang ditimbulkannya, bahkan tuan langit tidak ingin ketinggalan dengan diskusi menarik ini, sang langitlah yang paling mendominasi diantara yang lainnya. Gulita adalah pernyataannya, yang mempengaruhi aksi reaksi yang ditimbulkan alam, pernyataan paling komp...

Jaringan Makna | Sharing #18

    Bagian favorit dalam buku Homo Deus Masa Depan Umat Manusia  "Jaringan Makna"  halaman 165. Dan, ...      Orang kesulitan memahami ide tentang "tatanan yang diimajinasikan" karena mereka berasumsi bahwa hanya ada dua jenis realitas: realitas objektif dan realitas subjektif. Dalam realitas objektif sesuatu ada secara independen dari keyakinan dan perasaan kita. Gravitasi, misalnya, adalah sebuah realitas objektif. Ia ada jauh sebelum Newton, dan ia berdampak pada orang-orang yang mempercayainya.      Sebaliknya, realitas subjektif bergantung pada keyakinan dan perasaan personal saya. Misalnya, saya merasakan nyeri yang hebat di kepala dan pergi ke dokter. Dokter memeriksa saya dengan teliti, tetapi tak menemukan masalah apa pun. Maka, dia mengirim saya untuk tes darah, air seni, DNA, X-ray, electrocardiogram, scan fMRI dan banyak lagi prosedur lainnya. Ketika hasilnya datang, dia memberitahu bahwa saya sehat sempurna, dan saya bisa...